Tuesday, June 8, 2010

KORUPSI, KOLUSI dan NEPOTISME

devil
KETIKA gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa bergulir menuntut perbaikan, satu di antara yang menjadi sorotan adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Ada juga yang menambah dengan kroniisme. Penulis cenderung menempatkan kroniisme ke dalam nepotisme karena nepotisme memiliki cakupan yang lebih luas. Nepotisme mungkin dapat didefinisikan dengan bentuk hubungan berdasar rasa keterikatan tertentu yang menjadi dasar utama pemberian dan penerimaan jabatan tertentu. Jenis keterikatan tersebut beragam semisal karena satu daerah, satu suku, satu almamater dan satu keluarga. Kroniisme adalah bentuk nepotisme berdasar rasa keterikatan sebagai kawan.
Kolusi dapat didefinisikan dengan bentuk hubungan berdasar persamaan kepentingan tertentu, antara fihak yang memiliki jabatan publik dengan fihak anggota masyarakat tertentu, yang ingin mendapat keuntungan dengan imbalan membagi hasil keuntungan tersebut kepada yang memiliki jabatan tersebut. Bentuk hubungan ini dapat tercampur dengan motif nepotisme atau juga tidak.
Korupsi dapat didefinisikan dengan bentuk perselingkuhan berdasar pemanfaatan wewenang yang dipercayakan padanya untuk hal-hal yang tak sesuai dengan tujuan pemberian wewenang tersebut.
Sejauh ini penulis belum mengetahui kapan dan siapa-siapa yang pertama kali berbuat hal-hal tersebut di atas. Untuk konteks Indonesia, setahu penulis adalah Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang mempraktekkan tersebut. VOC dibentuk berdasarkan pertimbangan untuk menghilangkan persaingan antara para pedagang Belanda sebagai akibat diketahuinya jalur laut menuju Nusantara, yang merupakan sumber rempah-rempah yang sangat dicari di Eropa. Jalur tersebut dirambah pertama kali oleh Belanda berdasar data-data yang didapat dari kegiatan spionase terhadap Spanyol-Portugis. Untuk waktu yang lama Belanda bermusuhan dengan kedua bangsa tersebut.

Cornelis de Houtman –seorang taruna angkatan laut– mendapat kehormatan memimpin suatu rombongan menempuh jalur yang terbilang sulit tersebut. Dia tiba di pelabuhan Banten pada 1596, yang kelak merupakan peristiwa besar bagi Belanda maupun Indonesia. Kehadiran dia merupakan awal hubungan Belanda-Indonesia. Ketika itu Banten termasuk kerajaan penting di Nusantara, negara tersebut menguasai selat strategis, yaitu Selat Sunda, terlebih lagi setelah para musafir dari berbagai bangsa menghindari Selat Malaka karena penaklukan Kesultanan Malaka oleh Portugis. Banten juga menguasai Lampung, wilayah penghasil rempah-rempah walaupun mungkin tidak semelimpah sebagaimana di Maluku. Namun kelak Banten –sebagai akibat penjajahan asing yang lama– dikenal sebagai daerah terbelakang: penuh kemiskinan dan kebodohan. Padahal Banten termasuk memiliki jasa besar dalam membangun peradaban sekaligus dalam berjuang melawan penjajahan, setidaknya untuk ukuran Indonesia. Dengan segala keterbatasan atau penderitaannya, Banten sanggup menampilkan tokoh-tokoh terbaiknya, umumnya ulama sekaligus pahlawan.

Sejak perjalanan pertama yang dinilai sukses itu, berlomba-lombalah warga Belanda menghimpun dana dan mengirim ekspedisi ke Nusantara –dikenal dengan istilah wilde vaart– muncul persaingan tak sehat karena nafsu besar meraih untung dengan cara apapun. Pemerintah Belanda –dikenal dengan Republik 7 Negeri Belanda Bersatu– mencoba menghimpun mereka ke dalam satu wadah tunggal yaitu VOC dengan hak monopoli, hak yang sesungguhnya hanya berlaku untuk 21 tahun tetapi kemudian dengan licik menjadi berkepanjangan hingga perusahaan tersebut bangkrut. Hak lain yang luar biasa adalah VOC boleh membuat perjanjian, membangun benteng, membentuk tentara dan menyatakan perang. Dengan demikian VOC memiliki posisi bermuka dua, yaitu pedagang dan pemerintah –suatu hak yang kemudian justru mempersulit VOC sendiri. Dengan kehadiran VOC, maka praktis tertutup peluang untuk membentuk perusahaan lain, karena VOC memegang monopoli di Belanda maupun seberang lautan. Dengan mudah VOC hidup tanpa saingan dengan sesama orang Belanda, suara-suara protes dengan relatif mudah dibungkam mengingat orang-orang yang ada di perusahaan memiliki hubungan –semisal keluarga– dengan orang-orang yang ada di pemerintahan. Ini memang kolusi dan nepotisme asli!

Ada pepatah bijak power tends to corrupt (kekuasaan cenderung korup) dan VOC mengamalkannya dengan murni dan konsekuen – meminjam istilah rezim Soeharto. Wewenang luar biasa tersebut membuka lebar berbagai bentuk perselingkuhan: berbohong ke atas berdusta ke bawah. Ketika VOC bangkrut, segala aset dan hutang piutang diambil alih oleh pemerintah. Untuk memulihkan kebangkrutan tersebut dari mana lagi kalau bukan dari Moii Indie –sebutan lain untuk surga tropis Nusantara. Maka dikenallah berbagai praktek eksploitasi ekonomi yang lebih kejam, karena dilaksanakan oleh pemerintah melalui Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan bukan lagi oleh swasta yang nota bene memang bertujuan cari untung, antara lain yang dikenal dengan istilah cultuurstelsel yang pada prakteknya dikenal dengan istilah Indonesia tanam paksa. Para petani dipaksa menanam beberapa jenis tumbuhan bernilai komoditi yang ketika itu laku di Eropa. Mudarat akibat praktek KKN telah disimak dengan cermat oleh orang Belanda, mereka bertekad tidak mengulangi kesalahan melalui VOC. Arus uang dan barang diperiksa seteliti mungkin, jika ada penyimpangan sedikit saja maka si pelaku mendapat hukuman. Sepengetahuan penulis tidak ada surat peringatan pertama, kedua hingga ketiga. Peringatan sudah diberikan ketika mulai diterima masuk kerja.

Ketika bangsa Belanda say goodbye kepada praktek KKN, bangsa Indonesia justru melaksanakannya setelah menyadari bahwa perilaku tersebut dinilai menarik. Tertarik karena bangsa ini memang memiliki “fitrah” selingkuh: mencuri atau berbohong. Agaknya bangsa ini jika ingin sesuatu menempuh cara mencuri, sampai punya bahasapun agaknya dari hasil curian bahasa asing. Betapa banyak istilah-istilah asing yang menghiasi kosakata bahasa Indonesia! Suka tak suka agaknya kita dituntut mengakui hal ini sebagai bagian dari kritik diri bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa asing yang dicuri bangsa Indonesia. Kembali ke soal KKN, seiring berjalan waktu, praktek tersebut menjadi budaya, suatu tata nilai yang jauh lebih sulit diubah dibanding dengan kebiasaan, karena telah menjadi aset kolektif, yaitu bangsa, dan bukan oknum. Bagaimana posisi kaum Muslim terkait dengan ini? Tak pelak lagi bahwa umumnya para koruptor adalah kaum Muslim –sebagai konsekuensi atau resiko kaum mayoritas di negeri ini. Dengan “sukses” kaum Muslim sebagai mantan murid VOC mengamalkan KKN. Hampir dari level terbawah hingga teratas adalah maling atau neo-kanibalis. Pesan-pesan dalam kitab dan sunnah yang mengingatkan bahwa jabatan adalah amanat dengan pertanggung jawaban yang mengerikan kelak di akhirat cenderung kurang disimak. Maka coba periksa apa yang tidak dikorup, bahkan bantuan untuk korban bencana pun tidak dilewatkan untuk dikorup. Tak heran begitu banyak yang tidak sampai kepada yang berhak. Jika kita ingat pencuri, kemungkinan besar yang teringat adalah bahwa pelakunya adalah orang miskin. Karena tak punya pilihan lain untuk mengisi perut, dia menempuh langkah itu. Tetapi Indonesia menyajikan suatu keanehan yang parah, para koruptor hampir semua adalah bukan orang miskin: mereka punya jabatan, dapat gaji layak dan disediakan fasilitas, tetapi justru mereka lebih maling dari pada maling!

Seakan belum cukup keanehan itu, dengan uang haram mereka menunaikan ibadah haji atau ‘umrah. Mungkin mereka sanggup berulangkali bolak-balik ke tanah suci dengan uang tersebut. Atau jika mereka tersangkut hukum karena itu, pergi haji atau ‘umrah menjadi dalil yang cukup jitu menghindar dari jerat hukum. Penulis mendapat info dari satu anggota keluarga, yang karena satu dan lain hal harus berurusan dengan aparat. Sang oknum terkesan berusaha mempersulit urusan tersebut yang ternyata –sudah menjadi rahasia umum– dia berusaha mengamalkan “UUD secara murni dan konsekuen”, yang agaknya sesuai dengan apa yang dia terima dalam penataran P4 ala rezim Soeharto. Yaitu tentu saja yang dimaksud bukan Undang Undang Dasar tetapi “Ujung Ujungnya Duit”. Mereka diperas dengan berbagai macam dalih. Salah satu dalihnya adalah karena si oknum aparat tadi perlu uang untuk biaya ‘umrah. Coba renungkan, beribadat dengan uang hasil perbuatan mungkar! Sesuatu hal yang mungkin tidak masuk akal bagi bangsa lain, sekafir apapun ia, tetapi masuk akal bagi bangsa Indonesia. Runtuhnya rezim Soeharto akibat gerakan reformasi sempat menumbuhkan harapan bagi pendamba keadilan di negeri ini, tetapi untuk kesekian kali agaknya harapan harus pupus untuk beberapa lama karena penguasa berikutnya –termasuk ketika dipimpin seorang kiyai– hanyut dengan gaya rezim sebelumnya. Praktek KKN makin menjadi-jadi. Ada lagi pemahaman keliru yang menjangkiti umat, bulan Ramadhan mestinya untuk latihan kendali diri, untuk diterapkan pada 11 bulan lainnya. Istilah muluknya “11 bulan dijadikan Ramadhan” yaitu berarti perilaku shalih selama Ramadhan dipraktekkan pula pada bulan-bulan yang lain. Namun yang difahami (dan dipraktekkan) adalah 11 bulan untuk “suka-suka” –termasuk mencari rezeki haram– dan 1 bulan dalam Ramadhan untuk “bersih-bersih”. Setelah itu selama 11 bulan ke depan kembali semau gue. Tak heran jika bangsa ini sulit mendapat rahmat dan barokah.

Masih terkait dengan harta, zakat yang mestinya diambil dari harta halal untuk “membersihkan” harta dan pemiliknya –karena sekian persen dari harta tersebut merupakan hak orang lain yang dititipkan Allah kepada insan yang mendapatnya– ternyata dipahami secara keliru pula. Tahu bahwa dia meraih rezeki haram dengan cara bathil, dia pakai untuk ibadat sosial semisal zakat, infaq dan shadaqah dengan harapan dosa-dosa dari rezeki haram tersebut berkurang atau hapus sama sekali. Mungkin terfikir, disamping dosa karena korupsi tentu ada pahala karena memberi. Yah, sejelek-jeleknya dapat nilai 50-50. Jika harus masuk neraka, minimal dia sempat menikmati dunia. Untuk memberantas KKN memang tidak mudah karena dari ‘kebiasaan’ menjadi budaya. Budaya adalah jenis perilaku yang lebih sulit karena telah menyebar dalam level nasional. Tetapi perlu ada usaha memberantasnya walaupun perlu perjuangan ekstra keras dalam jangka waktu amat panjang. Misalnya, pertama, dapat dimulai dengan tidak menshalatkan mayat orang yang terkait dengan kasus korupsi. Langsung saja mayatnya dimasukkan ke kubur! Kedua, berbagai organisasi sosial hendaknya memiliki nyali untuk menolak sumbangan dari orang yang terkait dengan kasus KKN, hingga kasus tersebut jelas dengan hasil dia dinyatakan tidak bersalah. 

Ketiga, mengumumkan nama-nama yang terkait kasus tersebut –semisal di tempat-tempat umum– dapat dijadikan upaya lain memberantas kasus korupsi. Tanpa bermaksud mengabaikan asas “praduga tak bersalah”, sosialisasikan nama-nama tersebut dengan judul atau keterangan “para tersangka” atau “nama-nama bermasalah”. Istilah tersangka atau bermasalah mengandung pengakuan bahwa nama-nama tersebut belum tentu bersalah. Namanya juga tersangka, mungkin ya mungkin tidak bersalah. Namun hal tersebut dapat menjadi peringatan awal bagi warga untuk memberi sanksi sosial semisal menjaga jarak atau tidak memberi jabatan apapun hingga mereka terbukti secara hukum tidak bersalah. Dengan demikian diharapkan para tersangka tersebut tergerak untuk berusaha menjernihkan kasusnya karena merasa “gerah” dengan sanksi sosial tersebut jika didiamkan saja. Para tersangka tersebut hendaknya juga mencakup para hamba hukum, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa antara hamba hukum dengan tersangka terjadi kolusi. Begitu muncul SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan), segera usut sebab-sebabnya. Seseorang yang sejak mencalonkan atau dicalonkan menempati jabatan tertentu perlu diperiksa hartanya dan diumumkan. Begitu pula ketika dia selesai masa jabatannya. Dari situ dapat diperbandingkan berapa hartanya ketika mulai mencalonkan/dicalonkan dengan jumlah harta saat dia berhenti.http://pisbon.blogspot.com/2010/06/korupsi-kolusi-dan-nepotisme.html

No comments:

Post a Comment